Menyapa Sesiapa.

Di suatu malam, seorang kawan baik mengirimkan pesan ke dalam grup Whatsapp paling sepi  dimana saya berada di dalamnya. Alih-alih sekedar menyapa, kawan baik ini menuliskan hal yang menjadi pangkal dari apa yang sedang berkecamuk di hati belakangan ini. Kira-kira dia menuliskannya begini.

Saya hanya bisa tersenyum. Ada hangat yang tidak bisa dijabarkan, pun tidak bisa pula segera membalas pesan itu dengan sigap. Di balik selimut menjelang tidur, ingatan ini melayang pada padatnya isi kepala karena tak selalu kuasa diri ini menyelesaikan rasa ragu, menuntaskan tanya dan memahami perubahan-perubahan semenjak berperan menjadi seorang ibu.

Ada masa-masa dimana rasanya susah sekali beradaptasi dengan hadirnya bagian diri yang baru. Bagian diri ini menuntut tanpa membebani. Menjadi lembar-lembar pelajaran yang rumit sehingga perlu dipahami berkali-kali, sehari-hari. Rasa bahagia yang utuh, namun dirundung kegelisahan akan hal-hal lain di semesta diri yang ternyata ikut berubah. Saya kini tidak lagi berotasi sendiri.

Dalam perjalanan baru yang memerlukan banyak energi ini, saya akhirnya memahami bahwa menjadi perempuan dengan banyak pilihan tetap perlu memilih untuk mencintai dirinya sendiri. Membesarkan buah hati tanpa mengecilkan mimpi, menjalani hari dengan baik meskipun ketidaksempurnaan akan menyapa di sela-selanya. Dan biasanya, disaat saya tiba pada persimpangan-persimpangan dalam realita untuk tetap jatuh cinta pada cerita-cerita hidup, besar harapan ada seseorang yang bisa diajak berbicara. Selain suami, tentu saja.  

Terkadang, saya membayangkan seorang kawan perempuan akan menemani saya bertukar cerita. Atau saya akan mendengar mereka atau salah satunya bertanya akan kabar saya, atau sedikit saja tentang Juma, diantara segala tentang mereka. Lagi-lagi terkadang, saya sibuk meredam letup-letupan cerita dan menyimpannya rapi di dalam jurnal—selain dibagi langsung pada beberapa yang menyempatkan berkunjung dan mendengarnya dengan seksama. Meskipun begitu, saya bersyukur atas kesempatan yang diberikan sehingga saya bisa menceritakan pengalaman yang merubah hidup saya itu kepada mereka. Setelahnya, biarlah cerita menguap di udara, memori tersimpan rapi di dunia maya. Akhirnya ketemu juga cara menekan besarnya rasa bahagia dengan menanam sebuah bunga matahari untuk Juma, menitipkan gejolaknya pada biji kuaci yang sabar untuk tumbuh dalam hari-hari yang acuh.

Sampai akhirnya suatu hari seseorang menyadarkan saya tentang kegelisahan ini. Saat itu saya beruntung mendapatkan kesempatan untuk mengikuti sebuah lokakarya literasi. Seperti biasa, hal-hal seperti ini menyelamatkan saya dari banyak hal yang dialami setelah berparuh waktu terhadap banyak peran. Kepala ini datang dengan banyak wacana dan ide-ide. Sesampainya di sana, saya bertemu dengan seorang kenalan baik yang kemudian melontarkan tanya apa kabar disambut ucapan selamat atas kelahiran si kecil dan kemudian, “how’s motherhood?” dengan ceria.

Jleb. Seketika saat itu, kepala ini kosong, ide dan wacana kabur entah kemana. Saya tertiba kaku, dengan campur aduk, memberinya jawaban hampa yang lebih pantas disebut racauan. Kata-kata keluar tidak jelas, mata tak lagi menatap lawan bicara. Saya sontak mengacuhkan pertanyaan itu karena saya tidak tahu bagaimana harus menjawabnya, lalu memaksa kepala ini untuk berpikir keras untuk mengubah arah pembicaraan. I feel stupid. And even dumb for not being able to identify what was wrong with that question. Lagi-lagi cerita tertahan di ujung mulut. Terdistraksi, hilang lagi.

Perihal saya yang tidak bisa menjawab, barangkali alasannya sederhana saja. Karena tidak pernah ada yang benar-benar bertanya. Mungkin karena perjalanan penting ini terjadi dalam semesta yang tak sembarangan dibagi, pertanyaan itu memantik sedikit rasa sedih. Saya tidak pernah benar-benar bercerita pada sesiapa, kalaupun interaksi itu ada, hanya terbatas pada kulit luarnya. Ketidakmampuan saya untuk terbuka terhadap semua orang membuat saya kadang merasa jauh dari mereka yang pernah terasa dekat. Lagipula kalau dipikir-pikir, siapalah saya untuk berharap bagian di luar diri ini untuk peduli? Bukankah masing-masing yang lain juga bisa saja sedang mengalami rasa yang sama terhadap apa yang terjadi dalam hidupnya? Hmm. Apa mungkin ini lagi-lagi hanyalah ego yang tipis-tipis mencemari diri yang sedang setengah mati melawan negativity dari berbagai sisi?

Yang jelas, karena apa yang saya alami di perjalanan baru ini, saya ingin melakukan apa yang kawan baik saya itu lakukan jika kelak teman-teman terdekat memerlukan dukungan moral untuk meringankan hari-hari mereka. Mencoba mengerti. Memastikan diri ada bagi kawan-kawan lain yang bisa jadi sedang berjuang dalam diam dalam peran-peran yang beragam. Menjadi perempuan dengan empati, karena ‘mengalami’ adalah kekuatan dari kayanya pengalaman yang dapat dibagi-bagi.

Terima kasih, Adyani Dewi. Terima kasih sudah menyadarkan sesiapa yang (sedang) sembunyi dalam (rasa) kesendirian bahwa mereka tidak sedang sendiri. Semoga kebahagiaan senantiasa meramaikan hatimu.