Lorong, Lorong.

Ada baiknya, cerita mengenai Lorong Homestay ditarik mundur beberapa bulan sebelum akhirnya saya dan Eps kesampaian mampir kesana di bulan Juli lalu. Jika ditarik ke belakang, semua dimulai dari sebuah zero-waste workshop di Jakarta yang dibawakan oleh seorang arsitek muda. Perintis studio AWD, Mas Adi, saat itu banyak sekali memberikan saya insight mengenai dunia arsitektur ‘nyeleneh’ yang membuka pikiran saya mengenai konteks ruang dan peristiwa, terlebih pada praktik dan pendekatan yang humanis dan ramah lingkungan.

Semenjak sesi workshop itu, saya mulai mencari-cari arsitek-arsitek yang berhaluan pada hal-hal yang lebih natural dan membumi.  Tak lama berselang, saya berkesempatan mengikuti public volunteering di Sekolah Seniman Pangan di Vida Bekasi yang kemudian membuat saya menemukan nama Yu Sing, penggagas studio Akar Anomali yang membangun bangunan sekolah itu. Sambung-menyambung dari situ, atas kuasa algoritma, saya menemukan nama Yoshi Fajar yang terhubung dari hashtag #rumahbacacimot. Berlanjut dari situ, kulik sana kulik sini, bertemulah jempol ini dengan Galeri Lorong… dan juga perihal karyanya untuk Lorong Homestay yang saat itu masih dalam masa pembangunan.

Perjalanan menuju Lorong kemarin bukanlah juga mudah. Kami berdua kekeuh menyelipkan agenda “Yogyakarta” demi mampir ke Lorong selain alasan nostalgia karena kota ini cukup penting buat kami berdua. Jadilah dalam perjalanan 12 hari di Juli lalu, kami membelah dua rencana trip selain ke Tana Toraja di Sulawesi Selatan.

Kami nekat cari penerbangan murah dari Makassar untuk sampai ke kota manapun di Jawa, karena direct flight ke Yogyakarta ternyata mahal. Akhirnya, putar arahlah kami mencari penerbangan paling pagi ke Surabaya, untuk kemudian menyambung perjalanan dengan kereta ke kota Gudeg ini. Itu pun tidak bisa langsung sampai Yogya dan menginap di Lorong. Kami tiba tengah malam buta di Malioboro dan perlu menginap di tempat lain dulu, sebelum keesokan harinya kami pergi ke Nitiprayan.

DSC08242.JPG
Omah Ngarep, rumah panggung dengan dua kamar yang terletak setelah galeri yang berdiri sebagai bangunan utama sebelum Omah Mburi. Rumah panggung ini mencuri hati, rasanya cocok jadi inspirasi untuk mengisi tanah kosong belakang rumah Emak di Sukabumi.

Mas Mukti, koresponden homestay ini, menyambut kami berdua siang itu. Rasanya kayak mimpi. Percaya atau tidak, alokasi dana untuk menginap di Lorong itu datang dari sisaan bekal perjalanan yang sungguh pas-pasan setelah habis-habisan di Tana Toraja. Benar kata orang tua, kalau sudah rejeki, ga akan kemana-mana. Saya dan Eps senyum-senyum getir campur senang. Setelah menunggu sebentar, kamar Petruk di Omah Mburi siap untuk kami berdua.

Screen shot 2018-10-20 at 5.58.08 AM

DSC08236

Screen shot 2018-10-20 at 6.03.09 AM

DSC08237

Kami menghabiskan banyak waktu di Lorong bercerita dan mengamati ruang-ruang yang menurut cerita dibangun dengan pendekatan konsep ugahari, atau kesederhanaan. Banyak bertukar pikiran tentang banyaknya jendela, ruas-ruas kayu yang melintang, bambu-bambu, juga mixed material yang membuat kami jadi semangat berangan-angan. Eps memang pernah bercerita pada saya tentang rumah dengan struktur yang hampir serupa (dengan banyaknya jendela), sehingga kunjungan kami untuk mengapresiasi bangunan-bangunan arsitektural ini tak lebih karena konstruksi ini dekat dengan apa yang terlintas di kepala.

“Mungkin, ini pertanda,” begitulah Eps mengakhiri ritual mengumpulkan remah-remah yang dipaparkan semesta. Dalam hati, saya mengamini mimpi besarnya untuk membangun sanctuary bagi keluarga kecil kami dengan energi yang kurang lebih seperti yang kami rasakan di Lorong saat itu. Selama disana, Eps selalu mengingatkan saya untuk mengamati dan mempelajari tiap sisi dari konstruksi, karena membangun rumah perlu ilmu, bukan cuma soal punya materi.

Screen shot 2018-10-20 at 6.05.37 AM.png
Selasar depan Galeri Lorong di pagi hari. Paling suka lihat sinar matahari menembus masuk melalui banyak jendela seperti ini.

Sebuah keberuntungan untuk bisa menemukan keteduhan yang jauh dari hiruk pikuk kota. Kami merestorasi energi yang habis di Tana Toraja di sebuah rumah kayu apik dengan pemandangan sawah yang mengelilingi sekitarnya.

DSC08264.JPG

Lorong Homestay adalah satu dari empat tempat yang masuk dalam catatan kami tentang buitenzorg, yang kami pahami sebagai tempat tenang yang jauh dari hiruk pikuk. Berlokasi di kawasan seni Nitiprayan, Bantul, tinggal di Lorong memberikan banyak inspirasi dalam perjalanan kami untuk dibawa pulang.

Kami tidak sempat berlama-lama disana karena keterbatasan waktu yang mengharuskan kami menyelesaikan jalan-jalan ini dan kembali ke Jakarta. Di hari terakhir, kami berkesempatan berbincang sebentar dengan teman-teman yang mengurus Galeri Lorong dan homestay ini. Sayangnya, tidak sempat bercerita banyak. Tapi paling tidak, bertemu mereka membuat kami ingin kembali lagi suatu hari untuk sekedar belajar dan kembali mengapresiasi Lorong sebagai karya. Semoga waktu berkenan mengabulkannya.